Jumat, 05 November 2010

Teologi Islam di Abad Modern

Diposting oleh chotee hupf,,, di 20.04


 

Perkembangan wacana teologi Islam sepanjang sepermpat abad ke-20 telah diperkaya berbagai tema dengan pendekatan yang semakin beragam. Hal tersebut terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh yang mempunyai pikiran liberal dan tidak mengikatkan dirinya pada Organisasi massa keagamaan atau partai politik tertentu namun memang benar-benar menfokuskan dirinya pada kajian pemikiran bebas sebagai dakwah Islam. Ketika pertama kali muncul kira-kira pada tahun 1970-an banyak orang meragukan bahwa model pemikiran mereka akan mendapatkan sambutan dan apresiasi dari masyarakat, namun hal tersebut tidak terbukti sebab pada pertengahan tahun 1980-an pemikiran tokoh-tokoh independen malah menarik masyarakat khususnya dikalangan pelajar muslim. Salah satu tokoh tersebut adalah Harun Nasution.

2.1. Biografi Harun Nasution

Profesor Harun Nasution, sosok pemikir yang dikenal luas, di dalam maupun luar negeri itu. Dilahirkan hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara, dan wafat di Jakarta tanggal 18 September 1998. Beliau adalah seorang filsuf Muslim Indonesia. Sejak kecil Harun dikenal gemar mendalami ilmu. Semangatnya mencari ilmu menjadi spirit utama hidupnya. Bahkan di usianya yang setengah abad, ia belum punya rumah justru karena kecintaannya mendalami ilmu di negeri orang. Besar di Pematangsiantar, guru besar filsafat Islam ini adalah putra keempat Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun. Ayahnya juga seorang ulama, yang menguasai kitab-kitab jawi.. Ibunya adalah Maimunah, seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, orang terpandang dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Hal ini membuatnya lancar dalam melanjutkan cita-cita mendalami ilmu pengetahuan .

Harun memulai pendidikannya disekolah Belanda HIS (Hollandsche Indlansche School), disana Ia belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. setelah tujuh tahun belajar di HIS dan tamat pada 1934, lelaki beristrikan gadis Kairo (Mesir) ini berniat masuk MULO, sekolah umum saat itu. Sayangnya, kedua orang tuanya kurang menyetujui sebab mereka merasa pengetahuan umum Harun sudah cukup. Untuk mengobati rasa kecewa kedua orang tuanya itu, Harun memutuskan masuk sekolah Islam, Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. Ia tamat dan tamat pada 1937. Harun merasa cocok belajar di sekolah guru-menengah-pertama swasta modern pimpinan Abdul Malik Jambek, seorang ulama moderat di Bukittinggi. Di sekolah ini mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang selama ini dijalankan kedua orang tuanya. Misalnya, bertolak belakang dengan apa yang dianut kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya, sejak 64 tahun lalu itu dia sudah tahu bahwa memegang Alquran tanpa berwudlu terlebih dulu diperbolehkan menurut salah satu mazhab fikih .
Sikap keberagamaan harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh kedua orangtuanya dan lingkungannya. Harun bersikap rasional sedangkan orangtua dan lingkungannya bersikap tradisional. Oleh sebab itu harun dipindahkan belajar agama ke Arab Saudi. Namun, merasa Makkah bukanlah tempat belajar yang baik, pada 1938 Harun hijrah ke Mesir dan melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar. Selepas dari Al-Azhar, Harun melanjutkan di Universitas Amerika di Kairo dan menyelesaikan studi sosialnya dengan gelar Sarjana Muda pada 1952. Pada 1953 ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada decade 60-an membuat Harun mengundurkan diri dari karir diplomatik dan untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada. Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.
Harun ditanah air mengembangkan pemikiran Islam diberbagai IAIN yang ada di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dua periode dan paling lama (1973-1978 dan 1978-1984) kemudian menjadi direktur program pascasarjana IAIN Syarif hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia tahun 1998 diusia 79 tahun .

2.2. Islam Rasional
Kontribusi besar Harun Nasution tampak dalam upayanya memperkenalkan teologi rasional mu’tazilah secara lebih komprehensif. Awalnya mu’tazilah dikenal sabagai rangkaian bid’ah yang diketahui hanya melalui polemic yang dipinjam dari sumber-sumber Asia Selatan dan Timur Tengah.
Kedatangan harun kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1969 bersamaan dengan bangkitnya orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Dengan semangat mendorong pertumbuhan ekonomi dan modernitas yang menjadi jargon politik rezim orde baru, umat islam tertantang untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap program program pembangunan yang dicanagkan pemerintah. Namun apakah Islam yang pada saat itu sesuai dengan kemajuan dan modernitas. Merespon pernyataan tersebut, Harun Nasution berpendapat bahwa selama umat Islam tetap berpegang pada pandangan hidup yang fatalistik sebagaimana yang diajarkan dalam teologi Asy’ariyah, maka hampir tidak ada kemungkinan umat islam turut berpartisipasi dalam proses pembangunan didalam Negari. “ Jika umat Islam harus berhadapan dengan modernitas maka sangatlah penting bagi mereka untuk menggantikan kalam Asy’ari denagn kalam Mu’tazilah.” Inti dari perkataan Nasution tersebut bahwasanya jika umat islam Indonesia ingin turut dalam pembangunan di Indonesia maka mereka harus mengganti paham yang mereka anut selama ini yakni paham Asy’ariyah dengan paham mu’tazilah .
Rasionalitas mendominasi seruan Al-Qur’an untuk beriman. Ketika Al-Qur’an menyeru untuk beriman kepada Tuhan, ia juga selalu menuntut mereka untuk menggunakan rasio mereka dengan sebuah pernyataan “apakah kamu tidak berfikir?” (afala ta’qilun). Dengan kata lain Islam harus berdasarkan pada rasionalitas.
Menafsirkan ulang mu’tazilisme dalam konteks Indonesia modern mengandung dua misi penting yaitu, (1). Rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk berwawasan terbuka dengan begitu bersedia menerima liberalism, dan (2). Pengakuan akan adanya kapasitas diri manusia dalam pengertian Qadariah tentang kebebasan berkehendak. Nasution berkali-kali menyatakan fatalism sebagai akibat dari dianutnya paham teologi tradisional Asy’ariyah telah menjadi penyebab utama kelemahan dan kemunduran umat Islam.
Seperti Muhammad Abduh, melalui doktrin Mu’tazilah ini Nasution mencoba menggairahkan rasionalisme dan mengeliminasi dampak negative tradisionalisme. Intinya membangun Islam modern yang mampu bersaing dengan Barat atas dasar landasan yang sama tapi tetap mempertahankan sikap yang saleh yang menjadi ciri utama tradisionalisme Islam
2.3. Kedudukan Akademik Nasution dan Pendekatan Teologisnya
Kegiatan akademik Harun Nasution berada dalam atmosfir keilmuan yang khusus seperti ini, sehingga langkah-langkah revolusionernya sangat bertentangan dengan tren umum yang berlaku pada masanya. Ia mengembangkan model pemikiran yang pluralis serta mendorong pemikiran pribadi yang bebas. Ia menentang supremasi pemikiran keagamaan yang secara tradisional berada dibawah kekuasaan tokoh-tokoh tertentu seperti kiai atau ulama.
Islam menurut Harun dapat diklasifikasikan menjadi aspek doktrinal yaitu berkenaan dengan masalah pokok-pokok keyakinan dan kewajiban menjalankan ritual, dan aspek non-doktrinal mencakup seluruh produk Islam historis. Aspek doctrinal islam kemudian dibedakan antara yang fundamental yakni terkait dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits sedangkan yang non-fundamental berkaitan dengan interpretasi dan doktrin itu sendiri yang mengarah pada perkembangan aliran-aliran pemikiran atau madzhab yang berbeda-beda. Kebenaran interpretasi ini tidak bersifat mutlak dan dapat diubah sesuai dengan keadaan atau waktu .
Banyak sekali tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam namun tidak banyak yang murni menfokuskan pemikiranya dalam bidang akademik. Misalnya tokoh-tokoh pemuka islam pada masa lalu, seperti Dahlan, Hasan, Agus Salim dan Muhammad Natsir, mereka adalah orang-orang yang terkait dengan gerakan pembaharuan, baik dalam bentuk organisasi social keagamaan maupun partai politik. Berbeda denagn Harun Nasution yang benar-benar menfokuskan perhatiannya untuk mempelajari Islam sebagai kajian murni akademik. Harun dapat membebaskan dirinya dari semangat gerakan pembaharuan seperti politik tersebut sehingga ia lebih leluasa memfokuskan kajian intelektual dilingkungan dunia akademik .
Harun memperkenalkan seluruh aspek ajaran islam kepada mahasiswa di IAIN, bukan hanya mengenai doktrin-doktrin pokoknya tetapi juga sejarah perkembangannya dan berbagai madzhab yang ada. Harun ingin agar para pembacanya menelaah secara mandiri baik dari sisi positif maupun negative dari sejarah Islam. Ia tidak khawatir hal tersebut akan memperlemah keyakinan pembacanya malah ia mengatakan bahwa salah satu tujuan mempelajari teologi Islam secara utuh adalah untuk mengokohkan landasan keyakinan agar tidak mudah diguncang oleh adanya perubahan sepanjang waktu.
Harun Nasution banyak menyumbangkan karyanya bagi kalangan akdemisi salah satunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Ia menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek, Islam bukan hanya fiqih, tauhid, tafsir dan akhlak namun bisa juga dikaji dari sejarah, budaya, filsafat, tasawuf, teologi, hukum dan politik. Walaupun begitu hakikat Islam tetap satu. Buku ini dimaksudkan untuk menelaah ajaran pokok Islam dalam perspektif sejarah dan ilmu-ilmu sosial, Serta sebagai koreksi terhadap pemahaman Islam yang tidak lengkap. Kalangan akademisi diharapakan mampu menganalisis secara kritis dan adil bagaimana sebuah madzhab berkembang
Mempelajari Teologi bukan memperlemah keimanan, namun seseorang memperoleh landasan yang kokoh bagi keyakinannya tidak mudah terpenaruhdan diguncang oleh perubahan zaman. Ilmu Tauhid di Indonesia terbatass pada aliran Asy’ariyah sebagai satu-satunya paham atau doktri teologis yang bisa diterima di Indonesia.
2.4. Pemikiran Kalam Harun Nasution

2.4.1. Wahyu
Dalam paham dan keyakinan orang islam, Al-Qur’an sebagai kitab suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur;an wahyu ada tiga macam, pertama wahyu seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an Q.S. As-Syuraa: 51
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur. Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu dalam bentuk ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Wahyu yang diturunkan pada Nabi Muhammad adalah dalam bentuk yang ketiga ini. Jelas bahwa teks Al-Qur’an adalah asli dari Tuhan. Wahyu yang diterima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, bukan pula yang dilihat dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami, bukan pula yang dilihat pada waktu tidak sadar (trance)
2.4.2. Urgensi Akal
Dalam salah satu artikel yang dibuat Harun Nasution menyatakan manusia adalah makhluk rasional sesuai dengan berbagai ayat dalam Al-Qur’an. Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh ( ) dalam 1 ayat, Ta’qilun ( ) 24 ayat, Na’qil ( ) 1 ayat, dan ya’qilun ( ) 22 ayat . Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)
Al-qur’an dan hadits sama-sama memberikan kedudukan yang tinggi pada akal dan sama-sama memerintahkan mencari ilmu, bukan hanya ilmu agama namun juga ilmu keduniaan, bukan untuk masa terbatas saja tetapi untuk seumur hidup. Pemakaian akal dalam sejarah Islam bukan terjadi pada masalah keduniaan saja tapi juga keagamaan. Karena ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah keimanan, ibadah dan hidup kemasyarakatan manusia dikenal dengan muamalah berjumlah kurang lebih 500 ayat, itupun hanya dalam bentuk garis-garis besarnya tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai perincian maupun pelaksanaannya. Oleh sebab itu akal banyak dipakai dlam masalah iman, ibadah dan muamalah. Pemakaian akal oleh ulama’ terhadap ayat al-Qur’an atau hadits disebut ijtihad yang juga termasuk sumber ketiga dalam Islam. Jelasnya sumber ajaran Islam adalah tiga yakni Al-Qur’an, hadits dan akal .
Ijtihad yang dibimbing oleh al-qur’an dan Hadits-lah yang menimbulkan aliran dalam persoalan keimanan yang terkandung dalam Ilmu Kalam seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah dan al-maturidiah. Dalam fiqih kemudian timbul madzhab hanafi, hambali, syafi’I, maliki dan lain-lain. Pada abad kesembilan dan kesepuluh pernah berkembang ilmu tauhid atau teologi mu’tazilah yang bercorak rasional banyak menimbulkan filosof-filosof Islam yang menerima pemikiran Plato, Aristoteles dan lain-lain. Pemikiran yang mereka sesuaikan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al-ruh ) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.
Semua ini menunjukkan pentingnya menggunakan rasio untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang akan yang membimbing mereka pada kebenaran. Menurut Harun nasution peradaban islam dimasa lalu maju sebab umat islam pada saat itu sangat menghargai rasio. Mereka mengadopsi semua cabang ilmu pengetahuan, yang berasal dari berbagai sumber seperti Yunani, Syiria, mesir, Mesopotamia, India dan Persia. Mereka dapat mengembangkan wawasan yang luas dan liberal yang akhirnya dikalahkan oleh pandangan tradisional yang kurang menghargai rasio.
Dalam sudut pandang tradisional, manusia dianggap lemah dan terbatas kekuatannya. Aktivisme dan dinamisme kemudian digantikan oleh sikap pasif dan statis. Menurut paham ini nasib tidak mungkin berubah dan setiap bentuk perbuatan telah ditentukan oleh kehendak Tuhan. Hal ini tidak dapat mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai symbol modernitas dan kemajuan.
2.4.3. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan .
Dalam pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu fiqih dan ilmu kalam, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberikan interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu tetapi penafsran tertentu dari teks wahyu. Jadi yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tetentu dengan pendapat ulama lain .
Harun nasution pernah mengatakan bahwa pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolute dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relative, mungkin benar dan mungkin salah. Filsafat adalah usaha akal manusia sedangkan agama berdasarkan wahyu Tuhan. Keduanya berbicara tentang hal yang sama yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebanaran yang berasal dari sang pencipta manusia dan dunianya, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurangan dan ketidak pastian .
Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong, filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong. Seakan-akan mengetahui segalanya dan lebih maju dari pada orang saleh. Dipihak lain orang berbicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang dibicarakan adalah wahyu Allah namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia .
2.4.4. Pandangan Islam tentang keadilan
Kata adil yang dipakai dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersifat adil. Oleh sebab itu al-adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil. Selain itu juga berarti mempertahankan hak yang benar.
Didalam teologi islam terdapat tiga aliran besar yaitu aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran Mu’tazilah bercorak rasional, sedangkan Asy’ariyah bercorak tradisional dan Maturidiyah berada diantara keduanya namun dalam pemikiran lebih dekat pada mu’tazilah.
Sifat-sifat tuhan menjadi salah satu pembahasan penting dalam ilmu kalam dan diantara sifat-sifat Tuhan itu adalah Maha Adil (al-‘adil). Keadilan Tuhan tersebut dikaitkan dengan kehendak mutlak Tuhan sehingga menjadibahan polemik antara golongan mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Mu’tazilah bertitik tolak pada rasio, kebebasan dan kepetingan manusia. Mereka menjelaskan bahwa keadilan sangat erat hubungannya dengan hak. Jika keadilan dinisbatkan pada Tuhan maka arti Tuhan adil adalah segala perbuatan Tuhan ialah baik, tidak dapat berbuat buruk dan tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia
Karena itu dalam pandangan mu’tazilah keadilan Tuhan haruslah bermakna bahwa Tuhan tidak dapat berbuat dzalim dalam memberikan hukuman, demikian juga Tuhan tidak dapat menghukum anak yang politeistik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia. Selain itu juga harus memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya dan hukuman kepada orang yang menentang perintahNya. Bila Tuhan melakukan hal sebaliknya walaupun Ia berkuasa maka berarti Tuhan tidak adil.
Kalau golongan mu’tazilah membahas keadilan dari segi “Tuhan harus bersikap adil terhadap makhluknya, berbeda dengan Asy’ariyah membahas keadilan Tuhan dari segi “Manusia harus bersikap adil terhadap Khaliqnya, yaitu Tuhan. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta ini termasuk manusia. Sebagaiman pemilik mutlak, tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak hingga tidak berhak berbuat sekehendak hati terhadap milikNya.
Sebagai konsekuensinya dari jalan pemikiran ini adalah bahwa Tuhan dapat memasukkan orang-orang yang berbuat baik kedalam neraka, dan sebaliknya. Tuhan boleh melanggar janji-janji tersebut sungguhpun telah disebutkan dalam Al-Qur’an Tuhan dapat saja memberika beban yang tidak dapat dipikul manusia .

2.4.5. Perkembangan dan Pembaharuan Teologi
Dalam sejarah Islam, yang biasanya terbagi kedalam tiga periode atau zaman yakni zaman klasik(650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800), dan zaman modern (1800-dan seterusnya) ada dua macam ajaran yang mempengaruhi umat Islam untuk masa tertentu, yaitu teologi sunnatullah (hukum alam) dan teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariah atau Fatalisme) .
Pertama, zaman klasik. Pada zaman klasik berkembang teologi sunnatullah yakni hukum alam, yang dibarat disebut dengan natural laws. Bedanya jika natural laws adalah ciptaan alam sedangkan Sunnatullah adalah ciptaan Tuhan. Cirri-ciri teologi sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Al-Qur’an dan hadits yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya akan adanya Sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metaforis dalam teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Sikap umat Islam zaman ini adalah dinamis, orientasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan seimbang. Tidak mengherankan jika pada zaman klasik ini soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan produktivitas umat dalam berbagai bidang menjadi meningkat pesat .
Kedua, Zaman Pertengahan. Teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah itu hilag dari dunia Islam dan pindah ke Eropa melalui mahasiswa-mahasiswa Barat yang belajar di Andalusia dan melalui penerjemahan buku-buku Islam kedalam bahasa latin. Pada masa ini dunia Islam memasuki zaman kemunduran, teologi sunnatulllah hilang dan diganti oleh teologi kehendak mutlak Tuhan, cirri-iri teologi ini adalah:
1. Kedudukan akal yang rendah
2. Ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh banyak dogma
4. Ketidakpercayaan akan adanya Sunnatullah dan kausalitas
5. Terikat pada arti tekstual dari Al-qur’an dan Hadits.
6. Statis dalam sikap dan berfikir.
Kedudukan akal yang rendah membuat pemikiran dalam segala bidang kehidupan tidak berkembang, bahkan berhenti. Sikap taklid, yakni mengikuti pemikiran ulama’ zaman klasik sebagaiman adanya, berkembang subur dalam masyarakat. Tidak ada kemajuan dalam pemikiran. Bahkan filsafat hilang dari dunia Islam Zaman Pertengahan, begitu juga pemikiran keagamaan. Kemandekan pemikiran dipengaruhi dengan dogma-dogma yang banyak mengikat kebebasan berfikir, interpretasi dari para ulama berubah menjadi dogma yang tidak boleh dilanggar. Padahal dogma banyak mengikat kebebasan berfikir. Ruang lingkup berfikir akhirnya menjadi sangat sempit .
Ketiga, Zaman modern. Pada zaman ini orang eropa yang dulunya mundur dan sekarang telah maju itu datang ke Dunia Islam. Dunia Islam terjaga dari tidurnya dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggal eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari barat, umat Islampun memasuki zaman modernnya.
Salah satu jalan yang dilihat oleh para ulama dan pemikir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Sayyid Ahmad Khan di India dan lain-lain, adalah kembali ke teologi Sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik dikalangan ulam dan umat Islam zaman Modern. Disamping itu, mereka melihat sains yang telah berkembang dengan pesat di Eropa perlu dikuasai kembali oleh umat islam. Inilah yang akan menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang dizaman pertengahan, produktivitas diDunia Islam Zaman Modern mulai meningkat .
Kemudian timbul juga pemikiran Teologi Islam yang mandiri yakni salah satunya Harun Nasution. Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution pada dasarnya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia khususnya, adalah disebabkan ada yang salah dalam teologi mereka. Pandanangan ini serupa dengan pandanagan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid ridha dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan retorika fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam maka sudah seharusnya umat Islam mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi mu’tazilah .
2.4.6. Mu’tazilah
Menurut Nasution Mu’tazilah tidak hanya bersandar pada rasio, tapi juga menggunakan Al-Qur’an dan Hadits untuk memperkuat argumentasinya. Ia beralasan bahwa orang tidak suka pada mu’tazilah karena pada awal abad ke-9, mereka menyebarkan Islam melalui kekerasan, lebih lagi Mu’tazilah disalah pahami karena buku-buku mereka hilang sejak abad ke-13 dan tidak pernah dikaji lagi sejak ditemukan kembali sebagiannya pada pertengahan abad ke-20.

Ahmad amin, pemiki Mesir mutakhir lain, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilahlah kelompok pertama yang menggunakan senjata untuk melawan musuh-musuh Islam seperti Yahudi, Majusi dan lain-lain. Amin menganggap bahwa lenyapnya kaum mu’tazilah dari sejarah Islam merupakan malapetaka terbesar dari perkembangan peradaban Islam.
“ sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini, kedudukan umat Islam dalam sejarah akan berlainan sekali dengna kedudukan msa sekarang. Sikap lekas menyerah (pada nasib) membuat umat Islam lemah, paham fatalism melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakkal membuat mereka senantiasa dalam keadaan statis “
Pada akhir pembahasannya Nasution menegaskan bahwa pada masa modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran teologi mu’tazilah yang bercorak rasional telah mulai hidup kembali dan bisa diterima umat Islam khususnya kalangan terdidiknya. Namun bukan berarti mengadopsi pandangan seperti itu harus berarti telah menjadikan mereka keluar dari Islam arus utama.

DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi. 2004).
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan. 1998)
Rozak, Abdur dan Rosihun Anwar. Ilmu Kalam (Bandung : Pustaka Setia. 2006)
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, editor. Abdul Halim (Jakarta: Ciputat Press1989)
http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/
http://filosof.blog.m3-access.com/posts/3303_Mengenang-Harun-Nasution-Untuk-Perjuangan-Di-Tanah-Air.html
http://udhiexz.wordpress.com/2008/04/13/pro-dan-kontra-pemikiran-harun-nasution/
http://bumibebas.blogspot.com/2007/07/pintu-rasionalisme-harun-nasution.html.



0 komentar on "Teologi Islam di Abad Modern"

Posting Komentar

Jumat, 05 November 2010

Teologi Islam di Abad Modern


 

Perkembangan wacana teologi Islam sepanjang sepermpat abad ke-20 telah diperkaya berbagai tema dengan pendekatan yang semakin beragam. Hal tersebut terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh yang mempunyai pikiran liberal dan tidak mengikatkan dirinya pada Organisasi massa keagamaan atau partai politik tertentu namun memang benar-benar menfokuskan dirinya pada kajian pemikiran bebas sebagai dakwah Islam. Ketika pertama kali muncul kira-kira pada tahun 1970-an banyak orang meragukan bahwa model pemikiran mereka akan mendapatkan sambutan dan apresiasi dari masyarakat, namun hal tersebut tidak terbukti sebab pada pertengahan tahun 1980-an pemikiran tokoh-tokoh independen malah menarik masyarakat khususnya dikalangan pelajar muslim. Salah satu tokoh tersebut adalah Harun Nasution.

2.1. Biografi Harun Nasution

Profesor Harun Nasution, sosok pemikir yang dikenal luas, di dalam maupun luar negeri itu. Dilahirkan hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara, dan wafat di Jakarta tanggal 18 September 1998. Beliau adalah seorang filsuf Muslim Indonesia. Sejak kecil Harun dikenal gemar mendalami ilmu. Semangatnya mencari ilmu menjadi spirit utama hidupnya. Bahkan di usianya yang setengah abad, ia belum punya rumah justru karena kecintaannya mendalami ilmu di negeri orang. Besar di Pematangsiantar, guru besar filsafat Islam ini adalah putra keempat Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun. Ayahnya juga seorang ulama, yang menguasai kitab-kitab jawi.. Ibunya adalah Maimunah, seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, orang terpandang dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Hal ini membuatnya lancar dalam melanjutkan cita-cita mendalami ilmu pengetahuan .

Harun memulai pendidikannya disekolah Belanda HIS (Hollandsche Indlansche School), disana Ia belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. setelah tujuh tahun belajar di HIS dan tamat pada 1934, lelaki beristrikan gadis Kairo (Mesir) ini berniat masuk MULO, sekolah umum saat itu. Sayangnya, kedua orang tuanya kurang menyetujui sebab mereka merasa pengetahuan umum Harun sudah cukup. Untuk mengobati rasa kecewa kedua orang tuanya itu, Harun memutuskan masuk sekolah Islam, Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. Ia tamat dan tamat pada 1937. Harun merasa cocok belajar di sekolah guru-menengah-pertama swasta modern pimpinan Abdul Malik Jambek, seorang ulama moderat di Bukittinggi. Di sekolah ini mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang selama ini dijalankan kedua orang tuanya. Misalnya, bertolak belakang dengan apa yang dianut kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya, sejak 64 tahun lalu itu dia sudah tahu bahwa memegang Alquran tanpa berwudlu terlebih dulu diperbolehkan menurut salah satu mazhab fikih .
Sikap keberagamaan harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh kedua orangtuanya dan lingkungannya. Harun bersikap rasional sedangkan orangtua dan lingkungannya bersikap tradisional. Oleh sebab itu harun dipindahkan belajar agama ke Arab Saudi. Namun, merasa Makkah bukanlah tempat belajar yang baik, pada 1938 Harun hijrah ke Mesir dan melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar. Selepas dari Al-Azhar, Harun melanjutkan di Universitas Amerika di Kairo dan menyelesaikan studi sosialnya dengan gelar Sarjana Muda pada 1952. Pada 1953 ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada decade 60-an membuat Harun mengundurkan diri dari karir diplomatik dan untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada. Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.
Harun ditanah air mengembangkan pemikiran Islam diberbagai IAIN yang ada di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dua periode dan paling lama (1973-1978 dan 1978-1984) kemudian menjadi direktur program pascasarjana IAIN Syarif hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia tahun 1998 diusia 79 tahun .

2.2. Islam Rasional
Kontribusi besar Harun Nasution tampak dalam upayanya memperkenalkan teologi rasional mu’tazilah secara lebih komprehensif. Awalnya mu’tazilah dikenal sabagai rangkaian bid’ah yang diketahui hanya melalui polemic yang dipinjam dari sumber-sumber Asia Selatan dan Timur Tengah.
Kedatangan harun kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1969 bersamaan dengan bangkitnya orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Dengan semangat mendorong pertumbuhan ekonomi dan modernitas yang menjadi jargon politik rezim orde baru, umat islam tertantang untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap program program pembangunan yang dicanagkan pemerintah. Namun apakah Islam yang pada saat itu sesuai dengan kemajuan dan modernitas. Merespon pernyataan tersebut, Harun Nasution berpendapat bahwa selama umat Islam tetap berpegang pada pandangan hidup yang fatalistik sebagaimana yang diajarkan dalam teologi Asy’ariyah, maka hampir tidak ada kemungkinan umat islam turut berpartisipasi dalam proses pembangunan didalam Negari. “ Jika umat Islam harus berhadapan dengan modernitas maka sangatlah penting bagi mereka untuk menggantikan kalam Asy’ari denagn kalam Mu’tazilah.” Inti dari perkataan Nasution tersebut bahwasanya jika umat islam Indonesia ingin turut dalam pembangunan di Indonesia maka mereka harus mengganti paham yang mereka anut selama ini yakni paham Asy’ariyah dengan paham mu’tazilah .
Rasionalitas mendominasi seruan Al-Qur’an untuk beriman. Ketika Al-Qur’an menyeru untuk beriman kepada Tuhan, ia juga selalu menuntut mereka untuk menggunakan rasio mereka dengan sebuah pernyataan “apakah kamu tidak berfikir?” (afala ta’qilun). Dengan kata lain Islam harus berdasarkan pada rasionalitas.
Menafsirkan ulang mu’tazilisme dalam konteks Indonesia modern mengandung dua misi penting yaitu, (1). Rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk berwawasan terbuka dengan begitu bersedia menerima liberalism, dan (2). Pengakuan akan adanya kapasitas diri manusia dalam pengertian Qadariah tentang kebebasan berkehendak. Nasution berkali-kali menyatakan fatalism sebagai akibat dari dianutnya paham teologi tradisional Asy’ariyah telah menjadi penyebab utama kelemahan dan kemunduran umat Islam.
Seperti Muhammad Abduh, melalui doktrin Mu’tazilah ini Nasution mencoba menggairahkan rasionalisme dan mengeliminasi dampak negative tradisionalisme. Intinya membangun Islam modern yang mampu bersaing dengan Barat atas dasar landasan yang sama tapi tetap mempertahankan sikap yang saleh yang menjadi ciri utama tradisionalisme Islam
2.3. Kedudukan Akademik Nasution dan Pendekatan Teologisnya
Kegiatan akademik Harun Nasution berada dalam atmosfir keilmuan yang khusus seperti ini, sehingga langkah-langkah revolusionernya sangat bertentangan dengan tren umum yang berlaku pada masanya. Ia mengembangkan model pemikiran yang pluralis serta mendorong pemikiran pribadi yang bebas. Ia menentang supremasi pemikiran keagamaan yang secara tradisional berada dibawah kekuasaan tokoh-tokoh tertentu seperti kiai atau ulama.
Islam menurut Harun dapat diklasifikasikan menjadi aspek doktrinal yaitu berkenaan dengan masalah pokok-pokok keyakinan dan kewajiban menjalankan ritual, dan aspek non-doktrinal mencakup seluruh produk Islam historis. Aspek doctrinal islam kemudian dibedakan antara yang fundamental yakni terkait dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits sedangkan yang non-fundamental berkaitan dengan interpretasi dan doktrin itu sendiri yang mengarah pada perkembangan aliran-aliran pemikiran atau madzhab yang berbeda-beda. Kebenaran interpretasi ini tidak bersifat mutlak dan dapat diubah sesuai dengan keadaan atau waktu .
Banyak sekali tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam namun tidak banyak yang murni menfokuskan pemikiranya dalam bidang akademik. Misalnya tokoh-tokoh pemuka islam pada masa lalu, seperti Dahlan, Hasan, Agus Salim dan Muhammad Natsir, mereka adalah orang-orang yang terkait dengan gerakan pembaharuan, baik dalam bentuk organisasi social keagamaan maupun partai politik. Berbeda denagn Harun Nasution yang benar-benar menfokuskan perhatiannya untuk mempelajari Islam sebagai kajian murni akademik. Harun dapat membebaskan dirinya dari semangat gerakan pembaharuan seperti politik tersebut sehingga ia lebih leluasa memfokuskan kajian intelektual dilingkungan dunia akademik .
Harun memperkenalkan seluruh aspek ajaran islam kepada mahasiswa di IAIN, bukan hanya mengenai doktrin-doktrin pokoknya tetapi juga sejarah perkembangannya dan berbagai madzhab yang ada. Harun ingin agar para pembacanya menelaah secara mandiri baik dari sisi positif maupun negative dari sejarah Islam. Ia tidak khawatir hal tersebut akan memperlemah keyakinan pembacanya malah ia mengatakan bahwa salah satu tujuan mempelajari teologi Islam secara utuh adalah untuk mengokohkan landasan keyakinan agar tidak mudah diguncang oleh adanya perubahan sepanjang waktu.
Harun Nasution banyak menyumbangkan karyanya bagi kalangan akdemisi salah satunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Ia menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek, Islam bukan hanya fiqih, tauhid, tafsir dan akhlak namun bisa juga dikaji dari sejarah, budaya, filsafat, tasawuf, teologi, hukum dan politik. Walaupun begitu hakikat Islam tetap satu. Buku ini dimaksudkan untuk menelaah ajaran pokok Islam dalam perspektif sejarah dan ilmu-ilmu sosial, Serta sebagai koreksi terhadap pemahaman Islam yang tidak lengkap. Kalangan akademisi diharapakan mampu menganalisis secara kritis dan adil bagaimana sebuah madzhab berkembang
Mempelajari Teologi bukan memperlemah keimanan, namun seseorang memperoleh landasan yang kokoh bagi keyakinannya tidak mudah terpenaruhdan diguncang oleh perubahan zaman. Ilmu Tauhid di Indonesia terbatass pada aliran Asy’ariyah sebagai satu-satunya paham atau doktri teologis yang bisa diterima di Indonesia.
2.4. Pemikiran Kalam Harun Nasution

2.4.1. Wahyu
Dalam paham dan keyakinan orang islam, Al-Qur’an sebagai kitab suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur;an wahyu ada tiga macam, pertama wahyu seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an Q.S. As-Syuraa: 51
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur. Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu dalam bentuk ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Wahyu yang diturunkan pada Nabi Muhammad adalah dalam bentuk yang ketiga ini. Jelas bahwa teks Al-Qur’an adalah asli dari Tuhan. Wahyu yang diterima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, bukan pula yang dilihat dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami, bukan pula yang dilihat pada waktu tidak sadar (trance)
2.4.2. Urgensi Akal
Dalam salah satu artikel yang dibuat Harun Nasution menyatakan manusia adalah makhluk rasional sesuai dengan berbagai ayat dalam Al-Qur’an. Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh ( ) dalam 1 ayat, Ta’qilun ( ) 24 ayat, Na’qil ( ) 1 ayat, dan ya’qilun ( ) 22 ayat . Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)
Al-qur’an dan hadits sama-sama memberikan kedudukan yang tinggi pada akal dan sama-sama memerintahkan mencari ilmu, bukan hanya ilmu agama namun juga ilmu keduniaan, bukan untuk masa terbatas saja tetapi untuk seumur hidup. Pemakaian akal dalam sejarah Islam bukan terjadi pada masalah keduniaan saja tapi juga keagamaan. Karena ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah keimanan, ibadah dan hidup kemasyarakatan manusia dikenal dengan muamalah berjumlah kurang lebih 500 ayat, itupun hanya dalam bentuk garis-garis besarnya tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai perincian maupun pelaksanaannya. Oleh sebab itu akal banyak dipakai dlam masalah iman, ibadah dan muamalah. Pemakaian akal oleh ulama’ terhadap ayat al-Qur’an atau hadits disebut ijtihad yang juga termasuk sumber ketiga dalam Islam. Jelasnya sumber ajaran Islam adalah tiga yakni Al-Qur’an, hadits dan akal .
Ijtihad yang dibimbing oleh al-qur’an dan Hadits-lah yang menimbulkan aliran dalam persoalan keimanan yang terkandung dalam Ilmu Kalam seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah dan al-maturidiah. Dalam fiqih kemudian timbul madzhab hanafi, hambali, syafi’I, maliki dan lain-lain. Pada abad kesembilan dan kesepuluh pernah berkembang ilmu tauhid atau teologi mu’tazilah yang bercorak rasional banyak menimbulkan filosof-filosof Islam yang menerima pemikiran Plato, Aristoteles dan lain-lain. Pemikiran yang mereka sesuaikan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al-ruh ) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.
Semua ini menunjukkan pentingnya menggunakan rasio untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang akan yang membimbing mereka pada kebenaran. Menurut Harun nasution peradaban islam dimasa lalu maju sebab umat islam pada saat itu sangat menghargai rasio. Mereka mengadopsi semua cabang ilmu pengetahuan, yang berasal dari berbagai sumber seperti Yunani, Syiria, mesir, Mesopotamia, India dan Persia. Mereka dapat mengembangkan wawasan yang luas dan liberal yang akhirnya dikalahkan oleh pandangan tradisional yang kurang menghargai rasio.
Dalam sudut pandang tradisional, manusia dianggap lemah dan terbatas kekuatannya. Aktivisme dan dinamisme kemudian digantikan oleh sikap pasif dan statis. Menurut paham ini nasib tidak mungkin berubah dan setiap bentuk perbuatan telah ditentukan oleh kehendak Tuhan. Hal ini tidak dapat mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai symbol modernitas dan kemajuan.
2.4.3. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan .
Dalam pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu fiqih dan ilmu kalam, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberikan interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu tetapi penafsran tertentu dari teks wahyu. Jadi yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tetentu dengan pendapat ulama lain .
Harun nasution pernah mengatakan bahwa pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolute dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relative, mungkin benar dan mungkin salah. Filsafat adalah usaha akal manusia sedangkan agama berdasarkan wahyu Tuhan. Keduanya berbicara tentang hal yang sama yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebanaran yang berasal dari sang pencipta manusia dan dunianya, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurangan dan ketidak pastian .
Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong, filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong. Seakan-akan mengetahui segalanya dan lebih maju dari pada orang saleh. Dipihak lain orang berbicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang dibicarakan adalah wahyu Allah namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia .
2.4.4. Pandangan Islam tentang keadilan
Kata adil yang dipakai dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersifat adil. Oleh sebab itu al-adl mengandung arti menentukan hukum dengan benar dan adil. Selain itu juga berarti mempertahankan hak yang benar.
Didalam teologi islam terdapat tiga aliran besar yaitu aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran Mu’tazilah bercorak rasional, sedangkan Asy’ariyah bercorak tradisional dan Maturidiyah berada diantara keduanya namun dalam pemikiran lebih dekat pada mu’tazilah.
Sifat-sifat tuhan menjadi salah satu pembahasan penting dalam ilmu kalam dan diantara sifat-sifat Tuhan itu adalah Maha Adil (al-‘adil). Keadilan Tuhan tersebut dikaitkan dengan kehendak mutlak Tuhan sehingga menjadibahan polemik antara golongan mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Mu’tazilah bertitik tolak pada rasio, kebebasan dan kepetingan manusia. Mereka menjelaskan bahwa keadilan sangat erat hubungannya dengan hak. Jika keadilan dinisbatkan pada Tuhan maka arti Tuhan adil adalah segala perbuatan Tuhan ialah baik, tidak dapat berbuat buruk dan tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia
Karena itu dalam pandangan mu’tazilah keadilan Tuhan haruslah bermakna bahwa Tuhan tidak dapat berbuat dzalim dalam memberikan hukuman, demikian juga Tuhan tidak dapat menghukum anak yang politeistik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia. Selain itu juga harus memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya dan hukuman kepada orang yang menentang perintahNya. Bila Tuhan melakukan hal sebaliknya walaupun Ia berkuasa maka berarti Tuhan tidak adil.
Kalau golongan mu’tazilah membahas keadilan dari segi “Tuhan harus bersikap adil terhadap makhluknya, berbeda dengan Asy’ariyah membahas keadilan Tuhan dari segi “Manusia harus bersikap adil terhadap Khaliqnya, yaitu Tuhan. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta ini termasuk manusia. Sebagaiman pemilik mutlak, tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak hingga tidak berhak berbuat sekehendak hati terhadap milikNya.
Sebagai konsekuensinya dari jalan pemikiran ini adalah bahwa Tuhan dapat memasukkan orang-orang yang berbuat baik kedalam neraka, dan sebaliknya. Tuhan boleh melanggar janji-janji tersebut sungguhpun telah disebutkan dalam Al-Qur’an Tuhan dapat saja memberika beban yang tidak dapat dipikul manusia .

2.4.5. Perkembangan dan Pembaharuan Teologi
Dalam sejarah Islam, yang biasanya terbagi kedalam tiga periode atau zaman yakni zaman klasik(650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800), dan zaman modern (1800-dan seterusnya) ada dua macam ajaran yang mempengaruhi umat Islam untuk masa tertentu, yaitu teologi sunnatullah (hukum alam) dan teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariah atau Fatalisme) .
Pertama, zaman klasik. Pada zaman klasik berkembang teologi sunnatullah yakni hukum alam, yang dibarat disebut dengan natural laws. Bedanya jika natural laws adalah ciptaan alam sedangkan Sunnatullah adalah ciptaan Tuhan. Cirri-ciri teologi sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Al-Qur’an dan hadits yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya akan adanya Sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metaforis dalam teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Sikap umat Islam zaman ini adalah dinamis, orientasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan seimbang. Tidak mengherankan jika pada zaman klasik ini soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan produktivitas umat dalam berbagai bidang menjadi meningkat pesat .
Kedua, Zaman Pertengahan. Teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah itu hilag dari dunia Islam dan pindah ke Eropa melalui mahasiswa-mahasiswa Barat yang belajar di Andalusia dan melalui penerjemahan buku-buku Islam kedalam bahasa latin. Pada masa ini dunia Islam memasuki zaman kemunduran, teologi sunnatulllah hilang dan diganti oleh teologi kehendak mutlak Tuhan, cirri-iri teologi ini adalah:
1. Kedudukan akal yang rendah
2. Ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh banyak dogma
4. Ketidakpercayaan akan adanya Sunnatullah dan kausalitas
5. Terikat pada arti tekstual dari Al-qur’an dan Hadits.
6. Statis dalam sikap dan berfikir.
Kedudukan akal yang rendah membuat pemikiran dalam segala bidang kehidupan tidak berkembang, bahkan berhenti. Sikap taklid, yakni mengikuti pemikiran ulama’ zaman klasik sebagaiman adanya, berkembang subur dalam masyarakat. Tidak ada kemajuan dalam pemikiran. Bahkan filsafat hilang dari dunia Islam Zaman Pertengahan, begitu juga pemikiran keagamaan. Kemandekan pemikiran dipengaruhi dengan dogma-dogma yang banyak mengikat kebebasan berfikir, interpretasi dari para ulama berubah menjadi dogma yang tidak boleh dilanggar. Padahal dogma banyak mengikat kebebasan berfikir. Ruang lingkup berfikir akhirnya menjadi sangat sempit .
Ketiga, Zaman modern. Pada zaman ini orang eropa yang dulunya mundur dan sekarang telah maju itu datang ke Dunia Islam. Dunia Islam terjaga dari tidurnya dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggal eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari barat, umat Islampun memasuki zaman modernnya.
Salah satu jalan yang dilihat oleh para ulama dan pemikir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Sayyid Ahmad Khan di India dan lain-lain, adalah kembali ke teologi Sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik dikalangan ulam dan umat Islam zaman Modern. Disamping itu, mereka melihat sains yang telah berkembang dengan pesat di Eropa perlu dikuasai kembali oleh umat islam. Inilah yang akan menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang dizaman pertengahan, produktivitas diDunia Islam Zaman Modern mulai meningkat .
Kemudian timbul juga pemikiran Teologi Islam yang mandiri yakni salah satunya Harun Nasution. Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution pada dasarnya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia khususnya, adalah disebabkan ada yang salah dalam teologi mereka. Pandanangan ini serupa dengan pandanagan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid ridha dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan retorika fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam maka sudah seharusnya umat Islam mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi mu’tazilah .
2.4.6. Mu’tazilah
Menurut Nasution Mu’tazilah tidak hanya bersandar pada rasio, tapi juga menggunakan Al-Qur’an dan Hadits untuk memperkuat argumentasinya. Ia beralasan bahwa orang tidak suka pada mu’tazilah karena pada awal abad ke-9, mereka menyebarkan Islam melalui kekerasan, lebih lagi Mu’tazilah disalah pahami karena buku-buku mereka hilang sejak abad ke-13 dan tidak pernah dikaji lagi sejak ditemukan kembali sebagiannya pada pertengahan abad ke-20.

Ahmad amin, pemiki Mesir mutakhir lain, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilahlah kelompok pertama yang menggunakan senjata untuk melawan musuh-musuh Islam seperti Yahudi, Majusi dan lain-lain. Amin menganggap bahwa lenyapnya kaum mu’tazilah dari sejarah Islam merupakan malapetaka terbesar dari perkembangan peradaban Islam.
“ sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini, kedudukan umat Islam dalam sejarah akan berlainan sekali dengna kedudukan msa sekarang. Sikap lekas menyerah (pada nasib) membuat umat Islam lemah, paham fatalism melumpuhkan mereka, sedang sikap tawakkal membuat mereka senantiasa dalam keadaan statis “
Pada akhir pembahasannya Nasution menegaskan bahwa pada masa modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran teologi mu’tazilah yang bercorak rasional telah mulai hidup kembali dan bisa diterima umat Islam khususnya kalangan terdidiknya. Namun bukan berarti mengadopsi pandangan seperti itu harus berarti telah menjadikan mereka keluar dari Islam arus utama.

DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi. 2004).
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan. 1998)
Rozak, Abdur dan Rosihun Anwar. Ilmu Kalam (Bandung : Pustaka Setia. 2006)
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, editor. Abdul Halim (Jakarta: Ciputat Press1989)
http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/
http://filosof.blog.m3-access.com/posts/3303_Mengenang-Harun-Nasution-Untuk-Perjuangan-Di-Tanah-Air.html
http://udhiexz.wordpress.com/2008/04/13/pro-dan-kontra-pemikiran-harun-nasution/
http://bumibebas.blogspot.com/2007/07/pintu-rasionalisme-harun-nasution.html.



0 comments:

 

StruggleQ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal